Pilihan Allaah Yang Terbaik
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah seperti biasa, cahayanya terang tapi hangatnya tidak terasa bagi Rana. Sebuah mesin waktu yang menggantung pada dinding berwarna biru sudah menunjukkan pukul tujuh, namun masih ada sosok perempuan yang besembunyi dibalik selimutnya. Hari ini adalah hari ahad, hari yang selalu Rana tunggu-tunggu setelah ia sibuk dengan pekerjaannya disebuah yayasan sosial. Rana selalu antusias menyambut hari ahad karena ia akan bertemu dan berkumpul dengan Komunitas Rumah Belajar yang digawanginya bersama sahabat-sahabatnya sejak SMA. Bagi Rana hari ahad adalah hari yang sangat membahagiakan, selepas waktu subuh Rana sudah sibuk menyiapkan keperluan untuk komunitasnya. Namun tidak dengan hari ahad ketiga di bulan mei ini.
Tok…tok…tok….,
terdengar sebuah ketukan pintu dari luar kamar Rana.
“Rana
sudah jam tujuh loh…kamu ndak siap-siap, nanti terlambat.” Terdengar suara ibu
mengingatkan dari balik pintu.
Ibu
Rana sudah tahu betul semua kegiatan dan agenda Rana, putri bungsunya itu. Tak
ada satu hal yang luput dari ibu tentang Rana. Bagi Rana ibu adalah sosok yang
hangat untuk pulang dengan semua cerita yang ia bawa. Tak ada hal sedikit pun
yang Rana sembunyikan maupun ditutupi. Kedekatan Rana dengan ibunya selalu
membawa kisah-kisah yang menarik untuk diobrolkan sepanjang waktu, mulai dari
hal yang remeh temeh sampai perihal hati.
“Iya
bu, sebentar….hari ini Rana ndak pergi kok.” Jawab Rana dengan suara setengah
sadar.
“Loh
tumben…memang ndak ada kegiatan, nanti dicari anak-anakmu gimana?” sahut ibu.
Tak
selang lama Rana keluar dari kamarnya dengan muka datar dan kurang semangat.
Ibu sadar dengan sikap putrinya, namun ibu memilih untuk diam, walaupun berjuta
pertanyaan menghinggapi. Tak jarang Rana besikap seperti itu ketika ia
menghadapai beberapa hambatan di kantor atau dikomunitasnya. Perihal hati ibu
sudah tahu betul sosok laki-laki yang Rana kagumi sejak SMA dan masih sama sampai
saat ini. Ketika menceritakan sosok idolanya Rana selalu semangat dan antusias,
karena Rana masih berteman melalui media sosial. Besar harapan Rana suatu saat
mereka bisa dipertemukan dengan suasana yang menyenangkan.
Setelah
selesai mandi, Rana masih terlihat santai dengan menyelesaikan beberapa
pekerjaan rumah.
“Ibu
hari ini Rana ndak pergi, Rana mau di rumah dulu. Ada pekerjaan Rana yang belum
selesai di Yayasan.” Rana mencoba menjelaskan alasannya dengan kurang semangat
pagi ini.
“Tumben
pekerjaanmu ada yang belum selesai, biasanya kamu paling anti bawa pulang pekerjaan?”
tanya ibu sedikit menggoda.
“Iya
bu, kemarin beberapa pembiayaan yang belum selesai dan harus segera dilaporkan.”
Jawab Rana menjelaskan.
Yayasan
sosial tempat Rana bekerja memang tidak cukup besar, skalanya masih tingkat
kabupaten di daerah tempat tinggal Rana. Yayasan itu melayani berbagai
pembiayaan amal dan Pondok Tahfidz. Sedangkan Komunitas Rumah Belajar yang Rana
rawat bersama sahabat-sahabatnya adalah suatu wadah untuk memfasilitasi
anak-anak jalanan dalam belajar dan literasi. Jumlah anak-anak yang bergabung
pun cukup banyak yang tersebar di beberapa titik di wilayah Rana. Oleh sebab
itu selalu ada agenda yang berbeda setiap pekannya.
Bagi
Rana dan sahabat-sahabatnya semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk
bahagia meskipun dengan cara yang berbeda. Rana sangat sadar, ia terlahir
sebagai anak yang beruntung dapat tinggal dengan hangatnya keluarga dan
kemudahan dalam mengakses pendidikan. Kondisi ini sangat kontras dengan apa
yang anak-anak itu hadapi. Dengan fisik yang masih mungil, mereka harus
berjalan melawan derasnya arus kehidupan tanpa bekal pendidikan. Hal ini lah
yang menggerakkan hati Rana dan sahabat-sahabatnya untuk mendirikan komunitas
Rumah Belajar.
Waktu
Rana terbilang cukup padat dengan semua aktivitasnya di yayasan dan beberapa
komunitas. Rana dikenal oleh teman-temannya sebagai sosok yang hangat dan
ceria. Namun sepekan terakhir Rana terlihat murung dan kehilangan semangat.
Tampak ada suatu hal yang mengganggu pikirannya.
Sejak
undangan pernikahan digital yang ia terima, dari sosok yang ia kagumi selama
ini. Seketika Rana kehilangan harapan-harapannya. Dunianya yang terang seketika
berubah menjadi mendung yang memaksa air mata turun membasahi pipinya. Hatinya kalut,
pikirannya kacau. Rana memilih menyendiri dan menepi untuk menenangkan diri.
Kali ini Rana tidak bercerita kepada ibunya sebagai rumah tempat pulang semua
ceritanya. Ia hanya ingin sendiri saat ini, melepaskan ego, melapangkan harap
dan berusaha mengikhlaskan dengan sekuat hati. Rana percaya bahwa semua yang
terjadi adalah pilihan terbaik Allah untuknya.
Jadi ingat, dulu kupikir "si dia" adalah jodohku karena ada banyak kebetulan di antara kami. Nyatanya, kebetulan hanyalah kebetulan semata, karena aku tidak pernah jadi pelabuhan terakhirnya :'(
BalasHapusnyesek ya mba, jodoh emang seunik itu haha
BalasHapusMbak Rana, semoga kelak kamu dipertemukan dengan jodoh yang sebaik dirimu ya mbak, huhu nyesek bacanya. Tapi Rana ini special ya, suka sejak SMA tapi disimpan sendiri kayaknya, nggak pernah diutarakan ke si dia. Apakah karena menjaga marwahnya sebagai perempuan? Wahh salut sekali...
BalasHapus